BeritaKompas.com, MALANG – Kebijakan yang diterapkan oleh Kepala Sekolah bernama Markus, di SDN 3 Wonoagung, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang yang merugikan PKL (Pedagang Kaki Lima) dan beberapa siswa serta siswi, memiliki beberapa dampak yang kontroversial.
Kebijakan menutup gerbang sekolah saat jam istirahat dan mewajibkan siswa membeli makanan hanya di kantin sekolah telah merugikan PKL yang biasanya berjualan di luar halaman sekolah. Mereka menjadi terancam kehilangan mata pencaharian mereka karena pelanggan mereka, yaitu siswa-siswi, tidak dapat lagi membeli makanan di luar sekolah.
Siswa-siswi yang tidak diizinkan membeli jajanan di luar sekolah juga terpengaruh. Mereka harus membeli makanan di kantin sekolah dengan menggunakan sistem voucher, yang mungkin membatasi pilihan mereka. Ini juga bisa membuat mereka merasa terkekang dalam memilih makanan.
Bahkan PKL yang diizinkan berjualan di kantin sekolah harus mentransfer 20% dari hasil penjualan mereka kepada pihak sekolah. Ini mungkin terlihat sebagai beban tambahan bagi para PKL, dan mereka juga mengeluh tentang banyaknya aturan yang membatasi jenis makanan yang mereka jual.

Markus selaku kepala sekolah berdalih bahwa kebijakan ini diambil untuk menjalankan program kantin sehat. Dia juga menyebut bahwa penutupan gerbang sekolah selama jam istirahat dilakukan karena kekhawatiran terhadap siswa-siswi yang membawa motor sendiri, saat dikonfirmasi awak media BeritaKompas.com, Senin (4/9/2023).
Beberapa pihak mungkin melihat kebijakan ini sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan kelima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia). Pengenaan biaya kepada PKL di kantin sekolah juga dapat dianggap tidak adil.
“Tujuannya untuk makanan sehat, bekerja sama dengan puskesmas, Dulu Itu tidak ada kantin disini, mereka itu jualannya dipinggir lapangan kayak tenda/pondok gitu, ya kotor. Justru kenapa kita membuka kantin, kita ingin menjamin bahwa anak-anak mendapatkan makanan yang sehat. Sistem kantin bertransaksi menggunakan voucher, Sekolah kan berhak mendapatkan keuntungan”, ungkap Markus.
Untuk menyelesaikan masalah ini, sebaiknya dilakukan dialog antara pihak sekolah, PKL, siswa-siswi, dan masyarakat setempat. Mungkin ada cara untuk mencapai keseimbangan antara menjalankan program kantin sehat dan mendukung mata pencaharian PKL serta kebebasan siswa dalam memilih makanan mereka. Dalam hal ini, pihak sekolah juga perlu mempertimbangkan pandangan dan hak-hak semua pihak yang terlibat.
(Reagan)